Press ESC to close

Belt and Road Initiative: Gaya Baru China dalam Unifikasi Laut China Selatan

Laut China Selatan (LCS) adalah kawasan yang selalu menjadi perhatian dunia. Mengutip Hendrajit dkk (2018) yang menyatakan bahwa  Laut China Selatan yang memiliki peran vital dalam pergeseran geopolitik global, terus menjadi hambatan bagi upaya penyelesaian sengketa. Bahkan, diduga kuat bahwa isu konflik teritorial di wilayah ini dapat memicu benturan militer terbuka.

Penggambaran tersebut terlihat nyata adanya mengingat kawasan ini menjadi salah satu jalur pelayaran terbesar di dunia yang menghubungkan Asia hingga Eropa bahkan Amerika baik sebagai jalur perdagangan (SLOT) atau sebagai penghubung (SLOC)[1]. Dengan perkembangan dinamika internasional yang semakin dinamis, sudah pasti kawasan ini akan selalu menarik untuk dikuasai.

China sebagai salah satu negara terbesar di dunia menjadi negara yang ingin menguasai kawasan ini. Melihat sejarahnya, terdapat beberapa negara yang bersengketa dengan China. Salah satunya Indonesia pada tahun 2021 lalu di kawasan Laut Natuna Utara. Sengketa tersebut selalu menjadi perbincangan dunia. 

China mengklaim kawasan LCS adalah bagian dari negaranya. Dengan meninjau sejarah masa lalunya, China telah membuat garis putus-putus yang sering kita sebut sebagai Nine Dash Line. Istilah tersebut adalah sembilan garis imajiner yang digunakan oleh China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan berdasarkan alasan historis. Garis-garis ini ditetapkan oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut internasional di bawah PBB atau UNCLOS 1982. Padahal, China juga tercatat sebagai salah satu negara yang menandatangani UNCLOS 1982 (Firdaus, et al., 2021). Sebagai negara yang meratifikasi UNCLOS, tentu hal ini akan menjadi hambatan China dalam menguasai LCS. 

Namun langkah China tidak akan menyerah begitu saja. China juga memiliki opsi diplomatis dalam menguasai LCS. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, China memiliki mimpi untuk menguasai dunia pada tahun 2050. Maka dari itu LCS menjadi titik awal China untuk menguasai dunia. Merujuk pada Lieberthal (2015) poin-poin dari mimpi ini antara lain mengatasi warisan abad penghinaan yang dialami China, menjadi negara yang sejahtera dan kuat, meremajakan bangsa China serta memastikan kebahagiaan masyarakat China. Poin-poin tersebut merupakan tujuan bersama yang mencerminkan sentimen sejarah China secara mendalam. Impian ini mencakup perasaan dan aspirasi setiap warga negara China yang pernah mengalami masa-masa sulit, seperti penjajahan oleh negara lain, perang saudara, perjuangan kemerdekaan, pencarian jati diri sebagai negara sosialis, serta pasang surut dalam sejarah, hingga akhirnya berusaha mencapai impian tersebut (Liberthal, 2015).

Mimpi China tersebut dapat direalisasikan melalui Belt and Road Initiative. Pada perkembangannya, Belt and Road Initiative memiliki dua program penting. Selain dengan mengembalikan ruh jalur sutra di darat (jalur utara China), China juga mengembangkan jalur sutra maritim (jalur selatan China) yang dalam hal ini akan menitik beratkan pada jalur laut sebagai penghubung China dengan dunia internasional. 

JSM mengacu pada dua sektor utama: "above the wind" yang mencakup wilayah-wilayah dan pelabuhan-pelabuhan di Samudera Hindia, serta "below the wind" yang mencakup jalur-jalur seperti Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan jalur-jalur lainnya ke arah Timur. Secara tradisional, jalur-jalur ini digunakan untuk tujuan damai, yakni untuk aktivitas perdagangan antarnegara dan pertukaran budaya antaretnis. (Chaturvedy, 2014). 

Dengan program ini, China menawarkan investasi besar-besaran kepada negara-negara yang sangat bersinggungan dengan jalur sutra maritim yang China bangun. Xi Jinping melalui pidatonya di Kazakhstan pada tahun 2013 menyatakan bahwa jalur sutra maritim (JSM) ini akan mengeratkan negara-negara Asia Tenggara. Pengeratan tersebut dilandasi lima pilar. Di antaranya adalah kerja sama ekonomi, penguatan infrastruktur, penguatan fasilitas perdagangan, penguatan kerja sama keuangan serta penguatan hubungan people to people(P2P). 

Dengan perkembangan BRI melalui JSM, hal ini menjadi anggapan penulis bahwa China tetap berusaha melakukan penguasaan atas wilayah LCS. Merujuk pada Karl Haushoffer selaku salah satu pemikir geopolitik yang menyatakan bahwa labensraumdapat dikuasai dengan unifikasi, penulis akan mencoba dengan menggabungkan pemikiran tersebut dengan BRI yang dilakukan China. 

Anggapan yang penulis sampaikan sebelumnya tidak dengan tanpa alasan. Penulis melihat yang dilakukan China dengan melakukan investasi besar dalam proyek pembangunan JSM di negara-negara di Asia Tenggara akan menyebabkan negara tersebut bergantung pada China. Ketergantungan tersebut akan memberikan efek buruk bagi negara yang bersangkutan. China sebagai negara inti (core state) akan memberikan pengaruhnya pada negara-negara Asia Tenggara yang notabene adalah negara semi pheryperybahkan pherypery[2]. Gerakan investasi China ini bukan sembarang gerakan diplomatis, namun gerakan ini dapat dianggap sebagai invasi.

Investasi besar-besaran yang dilakukan China pada negara-negara yang bekerja sama dengannya juga dapat diasumsikan akan terjebak hutang yang melimpah. Walaupun proyek investasi yang ditawarkan China bersifat Bussiness to Bussiness (B2B), banyak negara yang pada akhirnya terjebak dalam hutang. Sebagai contoh kita bisa melihat Sri Langka, Uganda, Kenya dll. Negara-negara tersebut harus merelakan proyek-proyek strategis nasionalnya pada China sebagai garansi tidak mampunya mereka untuk membayar hutang kepada China. 

Terbaru, Vietnam sebagai negara Asia Tenggara menjadi korban baru China. Vietnam menerima lebih dari $16,3 miliar dari China, meningkatkan beban utang yang mungkin tidak disadari sepenuhnya (Abuza & Vu, 2021). Permasalahan hutang ini akan memberikan dampak signifikan bagi kedaulatan Vietnam di kawasan LCS. Dengan merujuk pada negara-negara yang disebutkan sebelumnya, Vietnam akan secara langsung dapat didominasi atau dihegemoni oleh China. Masalah ini mungkin tidak hanya selesai di Vietnam saja, negara-negara Asia Tenggara lain juga dapat menjadi korban selanjutnya. 

Dengan sebagian besar negara Asia Tenggara yang berkolaborasi dengan China sebagai bentuk dukungan pada JSM, China dapat mengembangkan hegemoninya di kawasan ini. Unifikasi secara diplomatis ini memberikan kesan bahwa China adalah cahaya di Asia Tenggara. Investasi pembangunan di kawasan laut di negara-negara kawasan LCS termasuk Indonesia juga akan memberikan warna tersendiri bagi LCS. Amerika Serikat (AS) pada masa pemerintahan Donald Trump menentang secara terbuka kebijakan yang dijalankan China. Bahkan AS secara terbuka berperang dagang dengan China. BRI dianggap ancaman bagi AS yang notabene masih berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. 

Di satu sisi, penulis melihat bahwa hegemoni AS di Asia Tenggara (termasuk LCS) bahkan dunia semakin lama akan semakin menipis sementara pengaruh China semakin membesar. Pertarungan pengaruh AS dan China melalui di LCS penulis anggap sebagai titik awal China dalam menguasai dunia. merujuk pada Modelsky (dalam Flint, 2005), pengaruh AS di dunia khususnya di LCS telah memasuki fase dekonsentrasi yang mana terjadi penurunan yang signifikan. Penurunan ini disebabkan oleh pengaruh China melalui investasi besarnya melalui BRI di negara-negara di Asia Tenggara. Maka dari itu, LCS penulis anggap sebagai langkah awal China mewujudkan mimpinya proses unifikasi dari investasi yang dilakukan.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia yang memiliki visi Poros Maritim Dunia (PMD) melakukan kerja sama dengan China pada tahun 2018  melahirkan pandangan untung-rugi dari aspek politik. Dari sisi keuntungan, Indonesia dapat meningkatkan daya tawarnya di lingkungan strategis, baik regional maupun global, melalui kerja sama dengan China. Namun, dari sisi kerugian, Indonesia berisiko dihegemoni oleh China dalam kerja sama ini. Ancaman tersebut menjadi alasan bagi Indonesia untuk tetap menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, meskipun cenderung lebih dekat dengan China. Dengan kecenderungan ini, Indonesia bisa dipengaruhi secara signifikan oleh China.

Penulis melihat bahwa Keberadaan Jalur Sutra Maritim (JSM) bagi Indonesia yang sedang berjuang mewujudkan Poros Maritim Dunia (PMD) cenderung dapat merugikan Indonesia. Kerugian ini terletak pada kepentingan China yang ingin menguasai dunia dengan menekankan kerja sama ekonomi politiknya dengan Indonesia. Meskipun Indonesia melihat potensi keuntungan dan proyeksi masa depan yang cerah dari kerja sama tersebut, Indonesia berisiko dirugikan oleh gangguan atau hambatan yang dapat mengancam kepentingan nasionalnya.

Referensi   

Abuza, Z., & Vu, P. (2021, Oktober 8). Vietnam’s Hidden Debts to China Expose its Political Risks. Diambil kembali dari The Diplomat: https://thediplomat.com/2021/10/vietnams-hidden-debts-to-china-expose-its-political-risks/

Chan, I. (2015). China’s Maritim Silk Roar: The Politics of Routes. RSIS Commentary No. 051, hal. 1

Chaturvedy, R. R. (2014). New Maritime Silk Road: Converging Interests and Regional Responses. ISAS Working Paper, No. 197, hal. 7.

Firdaus, A., Ilhafa, F., Putri, N. U., Kurniawati, E., Syakhila, H. D., & Sulfary, A. (2021). Jadi Dasar Hukum China Klaim Laut Natuna, Bagaimana Posisi Nine Dash Line di Lingkup Hukum Internasional. Seminar Peningkatan Sitasi Nasional. Diambil kembali dari https://conference.untag-sby.ac.id/index.php/spsi/article/view/31

Flint, C. (2005). Introduction of Geopolitics. New York: Routedge.

Kusumasomantri, A. R. (2015). Strategi Hedging Indonesia terhadap Klaim Teritorial China di Laut China Selatan. Jurnal Global : Jurnal Politik Internasional Vol. 17 No. 1.

Liberthal, K. (2015). The Chinese Dream and Adjustments in China Governance. Dalam The Chinese Dream to Be Shared with The World. Beijing: Foreign Language Press.

Gambar antara https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2017/09/20170924Map_of_Belt_and_Road_Initiatives.jpg.webp / http://beltandroad.hktdc.com 


[1]SLOC dan SLOT adalah rute maritim utama antara pelabuhan, yang digunakan untuk perdagangan, logistik, dan angkatan laut.

[2]Pembangian core, semi periphery dan periphery menurut Immanuel Wallerstein dalam teori sistem dunianya yaitu Core: Negara Super Kuat, Semi Periphery; negara dengan kekuatan menegah dan periphery: negara pinggiran (negara lemah)

Muhammad Zulham

Dosen Hubungan Internasional Universitas Nasional

@CitizenJurnalisme on Galeri
Perfect
New Day
Happy Day
Nature
Morning
Sunset